Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) bersama-sama dengan Taman Nasional Kerinci Seblat dan Taman Nasional Bukut Barisan Selatan laksana penyangga pilar yang mewakili hutan hujan tropis yang tersisa di pulau Andalas. Ketiganya telah ditetapkan sebagai Tropical Rainforest Heritage of Sumatra pada tahun 2004 oleh UNESCO, dan masuk dalam endanger list pada tahun 2011. Sumbangan TNGL dan wilayah hutan-hutan di sekitarnya yang secara keseluruhan disebut sebagai “Ekosistem Leuser” (2.4 juta hektar) berperan sentral dan nyata bagi penyelamatan keragaman hayati, penyangga kehidupan, siklus air, iklim mikro, pencegah banjir, longor dan penjaga kesuburan tanah-tanah pertanian di bawahnya, bukanlah isapan jempol. Gajah Sumatera, Harimau Sumatera, Badak Sumatera dan Orangutan Sumatera dapat ditemukan hidup dikawasan TNGL, yang dihuni oleh tidak kurang dari 3,000 spesies flora. Kajian ilmiah para pakar tentang flora dan mamalia besar tersebut masih terus dilakukan dan penting bagi ilmu pengetahuan dan kemuanusiaan dalam jangka panjang.
Pengelolaan kawasan yang sangat luas dan kaya ini, menhadapi berbagai tantangan, baik secara internal dan eksternal. Penguatan leadership di seluruh bagian sangat penting. Stategi pengelolaan berdasarkan jaringan dan kerjasama multipihak (Pemerintah daerah, pakar, praktisi, masyarakat, swasya, media massa dan lembaga swadaya masyarakat) merupakan “lagu wajib” yang harus dapat dilakukan secara konsisten dan berkelanjutan. Kembali bekerja di lapangan, dengan pola resort-based management (RBM) yang didukung kajian ilmiah (scientific-based) oleh pakar dan pengalaman lapangan dari staf senior (tacit knowledge), seharusnya dapat dilakukan secara terpadu. Dalam pengelolaan dengan pendekatan RBM tersebut, masyarakat diposisikan sebagai subyek bukan sebagai obyek. Tangkahan, merupakan contoh nyata bagaimana masyarakat berperan aktif dalam pengembangan wisata alam dan sekaligus menjaga hutan Leuser. Masyarakat Tangkahan sebagai pelaku utama penjaga hutan Leuser.
Tekanan dari luar berupa perubahan penggunaan lahan yang didominasi oleh sawit telah menyebabkan semakin meningkatnya perambahan sebagaimana yang terjadi di Besitang, kawasan hutan tropis dataran rendah terpenting di Sumatra Utara. Penegakan hokum terhadap actor intelektual dibarengi dengan pendekatan kemitraan dengan masyarakat setempat seharusnya dilanjutkan secara konsistendan tuntas. Rendahnya kapasistas governance di tingkat kabupatan di Aceh Tenggara menyebabkan kerusakan yang berat di hutan-hutan alam Leuser. Oleh kerena itu, masa depan kelola taman-taman nasional di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari seberapa jauh kita mampu membangun kebijakan pembangunan yang saling mendukung bagi upaya pelestarian kawasan hutan di sekitarnya dan upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat.