“Dia memang bukan pelaku kriminal. Dia hanya seorang laki-laki menyebalkan yang tidak tahu caranya tersenyum. Bodohnya, aku selalu kesulitan untuk benar-benar marah padanya.”
(Kendra Elanith)
“Dan dia adalah gadis paling ceroboh yang selalu meninggalkan ponselnya di sembarang tempat. Tapi dia selalu mampu menghadapiku lebih baik dibanding orang Iain.”
(Maxim Fordel Arsjad)
Mereka lebih sering saling membantah, sekaligus membangun pengertian. Kendra dan Maxim saling memahami meski tak fasih menuangkannya dalam kata. Keduanya mengelak dari hubungan lebih dari sekadar teman. Tapi Tuhan adalah sutradara maha gemilang. Dia menuliskan predestinasi yang tak bisa dibantah. Menyandera Maxim dan Kendra pada perasaan istimewa.
Mungkinkah mereka memilih jalan untuk bersama, menghabiskan sisa kefanaan berdua? Ataukah lebih suka menjauh meski saling menyakiti? Ada banyak perasaan terluka, ada banyak rasa ngilu yang harus dikecap. Jalan ke masa depan memang bukan jalan yang bebas hambatan.