Antara Sarah dan Azam masih ada rasa. Ada suara-suara malam yang terus memanggil, tentang cinta dan kebahagiaan. Namun, untuk sementara mereka hidup dalam diam. Dalam sepi yang panjang, yang berujung jua.Sarah mengadu kepada senja, tentang semua kisahnya. Azam memendamkan wajahnya pada sajadah. Memohon petunjuk pada Allah, sehingga pada setiap saat ketika cinta menghampirinya, Azam akan selalu berujar “Hanya alam dan Tuhan yang tahu”.Ya..hanya Alam dan Tuhan yang tahu. Alam begitu dekat dengan Sarah, sedangkan Azam memanjatkan penatnya kepada Allah. Jika saja, antara Azam dan sarah bersama melantunkan madah yang sama, keduanya akan menjadi sempurna. Sempurna dalam duka dan cita. Dalam cinta.Tetapi, manusia tidak bisa memastikan kemahakuasaan Allah. Semuanya berpasrah kepada-Nya. Dalam doa yang terus dipanjatkan. Sarah, gadis senja yang selalu menanti cinta sejati. Azam, lelaki penyayang yang selalu setia berharap pada keajaiban. Antara Sarah dan Azam masih ada rasa yang semuanya belum tertumpah, tentang semua ‘Hanya Alam dan Allah yang tahu”***Suara adzan berkumandang, Sarah belum juga beranjak. Sementara senja kian pelan membenam. Rambutnya masih tergerai basah. Pada ujung-ujungnya menetes air mata. Jilbab jingganya, ia simbakkan. Seakan-akan ingin memaklumkan tentang fajar, tentang pagi yang senantiasa merekah. Ia ingin berteriak, meronta kepada alam. Tetapi tiada jua yang mendengar, selain sepi yang kian menyengat.Dalam bayangnya berkelebat tentang sebuah heran. Mengapa aku tidak bisa melupakan Azam? Mengapa suara adzan yang dikumandangkannya seperti mengetuk-ngetuk ruang dada? Mengapa wajahnya begitu membekas dalam ingatan? Mengapa senyumnya masih saja seperti menyapa? Mengapa tutur kata lembutnya masih saja menghujam kesendirian?