Novel ini menjadi sangat sulit untuk dilepaskan hingga halaman terakhir karena menyajikan jalan cerita yang penuh kejutan, menghentak-hentakkan, dan sulit ditebak.
Sewajarnya novel kisah cinta monyet yang hambar, buku ini sangat jauh dari kesan membosankan.
Novel yang segera difilmkan dengan judul yang sama itu tidak sekadar menceritakan pilunya Nafisya ketika lelaki yang dicintainya yakni Jidan justru diam-diam ingin melamar sang kakak, Salsya.
Hatinya kian hancur ketika keinginan Jidan yang dicintai dan disebutnya sebagai makhluk marsnya itu benar-benar mewujudkan keinginan untuk melamar bahkan menikahi Salsya.
Novel ini juga diwarnai dengan bumbu pahitnya trauma yang harus ditanggung sang anak ketika orang tuanya harus bercerai. Hal itu pulalah yang dialami Nafisya dan Salsya hingga membuat Nafisya khususnya kehilangan kepercayaan kepada laki-laki.
Bahkan ketika Dokter Alif hadir dalam hidupnya sebagai dosennya yang galak tetapi memesona, Nafisya benar-benar tak ingin memupuk perasaan kagumnya.
Dendamnya kepada Abi (ayahnya) yang telah meninggalkan Ummi dan menceraikannya untuk hidup bersama perempuan lain ibarat amat kesumat dan sulit bagi Nafisya untuk memaafkan pria manapun.
Meski pada akhirnya, ia dibenturkan pada berbagai persoalan hidup yang membuatnya untuk kemudian dapat memahami mengapa kedua orang tuanya berpisah.
Mahasiswa Fakultas Farmasi itu pun mulai dapat menerima kehadiran kembali Abi dalam hidupnya seiring semakin intensnya pertemuan dengan Dokter Alif yang kerap kali memberikan detensi (hukuman) kepadanya karena beberapa kali tak mengerjakan tugas.
Sejatinya, siapa tak tertarik pada sosok Dokter Alif yang ganteng, cerdas, mapan, dan masih single itu. Di usia yang 29 tahun, ia menjadi idola mahasiswa di dua fakultas sekaligus; kedokteran dan farmasi.
Sayangnya, Fisya tak yakin perasaannya kepada Dokter Alif adalah peracaan cinta sejati atau sekadar kekaguman seorang mahasiswa kepada dosennya.
Serba kebetulan pun banyak terjadi sepanjang cerita novel ini meski bukan semata kebetulan ketika Dokter Alif menyampaikan keinginan untuk melamar Nafisya.
Fisya memang tidak serta merta mengiyakan karena masih terjebak dalam kegalauan panjang dan patah hati mendalam lantaran Jidan dan Salsya akan menikah dalam waktu dekat.
Sulit Ditebak
Cinta dan sayangnya kepada Abi yang ternyata menderita sakit gagal ginjal (yang dirahasiakan darinya) membuat Nafisya justru meminta Dokter Alif menikahinya di hadapan sang ayah.
Nafisya pun pada akhirnya mampu memenuhi harapan tertinggi sang ayah untuk bisa menikahkan putri-putrinya termasuk dirinya sebelum menghembuskan napas terakhir.
Maka sebelum, perjalanan kisahnya usai di bangku kuliah ia menjalankan peran sebagai istri seorang Dokter Alif.
Dalam perjalanannya, Nafisya nyatanya menderita multiple sclerosis yang makin parah dari waktu ke waktu hingga ancaman kebutaan permanen.
Derita itu ia simpan rapat-rapat dari sang suami bahkan ia diam-diam mempersiapkan perceraian agar suaminya bisa memiliki kehidupan yang lebih baik dan bahagia bersama perempuan lain. Tentu saja sang dokter menolak.
Nafisya tidak menyerah, ia terus meminta berpisah dengan alasan tak bahagia sampai kemudian Dokter Alif menjatuhkan talak padanya.
Kejutan lain terjadi ketika Nafisya mengalami koma akibat sakitnya yang kian parah. Bumbu-bumbu kata mutiara dan ayat-ayat Islami baik dari hadist Nabi maupun Al-Quran mengalir deras tanpa ada kesan menggurui dalam novel ini.
Sebuah akhir yang bahagia didapatkan setelah pembaca dibuat terengah-engah dengan perjalanan penuh haru seorang muslimah bernama Nafisya.
Surat-surat cinta Nafisya untuk calon imamnya tak dipungkiri layaknya pedang yang menghujam langsung ke ulu hati. Manis, romantis, bahkan kadang menyayat hati.
Sampai kemudian ia menemukan salam bukan lagi untuk calon imamnya namun untuk imamnya yang sebenarnya.